Total Pageviews

Sunday, November 27, 2011

Kondisi Koperasi di Indonesia Saat Ini

AWAL PERTUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA

A. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda

1. Mulai Bertumbuh

Sebagian besar pakar koperasi dan beberapa kalangan berpendapat bahwa sesungguhnya bentuk-bentuk koperasi yang konkret di Indonesia baru mulai tumbuh pada era kebangkitan nasional, yaitu pada awal-awal tahun 1900-an. Dimulai dari berdirinya koperasi rumah tangga (konsumsi), yang didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional di kalangan Boedi OetoRata Penuhmo pada tahun 1908, kemudian disusul dengan berdirinya toko-toko Adil pada tahun 1913 oleh tokoh-tokoh Serikat Dagang Islam, Sarekat Islam dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti dari PNI, Partindo, Parindra dan sebagainya di awal tahun 1900-an, sebagai bagian dari strategi perjuangan mencapai kemerdekaan. Pada masa-masa tersebut konon juga mulai berdiri koperasi di kalangan para santri, koperasi pondok pesantren, yang didorong oleh para kiai. Namun demikian koperasi di masa itu pada umumnya tidak bias berusia panjang. Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain misalnya kurangnya pengalaman dan pengetahuan mereka dalam mengelola koperasi. Sedangkan pemerintah dan pergerakan juga tidak pernah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan maupun penyuluhan bagi para pengelola koperasi. Di samping itu tipisnya solidaritas dan loyalitas anggota juga telah mengakibatkan toko-toko yang didirikan kurang dimanfaatkan oleh anggotanya sendiri. Berkembangnya sistem penjualan dengan cara kredit oleh tokotoko swasta non-koperasi kepada pembeli yang tidak punya uang tunai,juga menjadi sebab lain tersainginya toko-toko koperasi pada saat itu. Ada informasi penting lain mengenai kondisi awal koperasi di Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Drs.Hendroyogi, M.Sc., dalam buku Azas-azas, Teori dan Praktek Koperasi, Edisi Revisi 2002. Menurutnya sebelum ada Undang-undang perkoperasian tahun 1915, koperasi di Indonesia diberikan status badan hokum sebagai Zedelijk Lichaam (Staatsblad 1870 nomor 64, sesuai bunyi Undang-Undang tahun 1855 yang berlaku di Negeri Belanda). Sebagai contoh ada tiga buah koperasi pemilik/penanam kopi di Lembang, Lemburawi dan Poseli, yang didirikan dengan surat keputusan pemerintah tertanggal 31 Desember 1917 Nomor 58, yang diberikan recht persoon menurut Staatsblad 1870 Nomor 64 tersebut.

2. Peraturan Perkumpulan Koperasi Nomor 431 Tahun 1915

Mulai bertumbuhnya semangat masyarakat untuk berkoperasi serta bermunculannya berbagai koperasi tersebut telah mendorong Pemerintahan penjajah Hindia Belanda untuk segera memberlakukan Verordening op de Cooperative Vereeniging, berdasarkan Koninklijk Besluit 7 April 1915, atau sering disebut dan lebih dikenal sebagai: Peraturan tentang Perkumpulan perkumpulan Koperasi, atau Staatsblad nomor 431 tahun 1915 (yang sebenarnya sama persis dengan Undang- Undang tahun 1876 yang berlaku di Nederland). Undang-Undang ini antara lain memuat peraturan tentang tata cara mendirikan koperasi yang oleh kalangan masyarakat pribumi saat itu dirasakan amat berat, rumit dan mahal, antara lain misalnya :

(1). Koperasi yang akan didirikan harus dimintakan ijin terlebih dahulu kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia;

(2). Anggaran Dasarnya harus ditulis dalam bahasa Belanda;

(3). Akta Pendiriannya harus dibuat di hadapan Notaris;

(4). Biaya pendirian dan pengesahannya dapat dikatakan terlalu tinggi bagi badan usaha yang relatif masih lemah seperti koperasi. Biaya yang relatif dinilai mahal tersebut dapat digambarkan dengan contoh sebagai berikut :

"Suatu koperasi kredit yang bermodal kerja F1.500,- dengan kemampuan memberi pinjaman maksimal F1.10,- per anggota, dengan berlakunya peraturan perundangan tersebut, koperasi yang bersangkutan harus memperoleh badan hukum, untuk itu harus mengeluarkan biaya: (a) pada Notaris F1.115,- ; (b) Izin pemerintah kolonial termasuk biaya pengumumannya pada Berita Negara dan Surat Kabar F1.31,50; (c) pengeluaran untuk pajak usaha F1.25;" (G Kartasapoetra dkk, 1987).

3. Peraturan Mengenai Perkumpulan Koperasi Bumiputera.

(Lembaran Negara Nomor 91 Tahun 1927) Menanggapi sikap antipati dari ”kaoem boemipoetera" (baca: bangsa Indonesia) saat itu terhadap Peraturan Perkumpulan Koperasi nomor 431 tahun 1915 tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 membentuk Komisi Koperasi yang dipimpin oleh Prof. Dr. JH Boeke, untuk menampung aspirasi kaum pribumi (bangsa Indonesia) dalam berkoperasi. Dan sebagai basil kerja dari komisi tersebut, antara lain lahir Regeling lnlandsche Cooperative Vereeniging, atau sering disebut dan lebih dikenal dengan sebutan: Peraturan Tentang Perkumpulan Koperasi Bumiputera Nomor 91 Tahun 1927, yang khusus berlaku bagi kaum bumiputera (baca : bangsa Indonesia).

Perkembangan Koperasi Tahun 1927 -1939

No Urut

Tahun

Jumlah

Koperasi (Unit)

Anggota (Orang)

1

1927

1

-

2

1928

22

-

3

1930

89

7841

4

1938

540

40237

5

1939

574

52216

Sumber : Djabaruddin Djohan, 1997, Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia.

Pada Bulan Desember 1932 pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Surat Keputusan Pemerintah Nomor 29 yang dimuat dalam Staatsablad nomor 634 tahun 1932, yang menetapkan bahwa koperasi yang dibentuk berdasarkan Staatsblad Tahun 1927 Nomor 91, bebas pajak selama 10 tahun semenjak didirikan.

4, Kendala dan Reposisi Koperasi

Sejalan dengan ide pengembangan eksistensi koperasi, dalam kondisi krisis ekonomi, gIobaIisasi/liberalisasi ekonomi dunia sekarang ini, upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan koperasi tidak dapat lagi hanya disandarkan pada pendanaan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kondisi keuangan pemerintah sekarang ini yang semakin menyempit karena lebih banyak bersandar pada pinjaman dari luar negeri (terutama IMF).

Jika dari sisi yang satu penyembuhan ekonomi nasional diharapkan dapat dipercepat dengan mengembangkan eksistensi usaha kecil dan koperasi, namun di sisi lain terlihat bahwa kebijaksanaan makro pembangunan ekonomi masih memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pengusaha besar terutama di sektor moneter. Kebijaksanaan moneter khususnya di bidang perkreditan adalah penyebab utama kehancuran sistem ekonomi Indonesia yang harus dibayar bukan saja dari segi materi tetapi juga biaya sosial (social cost) yang sangat besar. Untuk itu mutlak diadakan reformasi total di bidang moneter secara lebih khususnya adalah reformasi kredit (credit reform). Paradigma pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan, dengan asumsi akan menciptakan efek menetes ke bawah jelas-jelas sudah gagal total karena yang dihasilkan adalah keserakahan yang melahirkan kesenjangan. Pembangunan pertumbuhan, memang perlu tetapi pencapaian pertumbuhan ini hendaknya melalui pemerataan yang berkeadilan.

Permasalahan yang dihadapi koperasi dalam tiga dekade terakhir ini dapat dikemukakan sebagai berikut

a. Kelembagaan Koperasi

Sejumlah masalah kelembagaan koperasi yang memerlukan langkah pemecahan di masa mendatang meliputi hal-hal: 1) Kelembagaan koperasi beum sepenuhnya mendukung gerak pengembangan usaha. 2) Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik . b) Mekanisme hubungan dan pembagian kerja antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Pelaksana Usaha (Manajer) masih belum berjalan dengan serasi dan saling mengisi. c) Penyelenggaraan RAT koperasi masih belum dapat dilakukan secara tepat waktu dan dirasakan masih belum sepenuhnya menampung kesamaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari pada anggotanya.

b. UsahaKoperasi

Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha koperasi tidak dapat dipisahkan dari masalah kelembagaan serta alat kelengkapan organisasi koperasi dan kemampuan para pengelolanya seperti yang diuraikan di atas. Adapun masalah yang berkaitan dengan pengembangan usaha adalah :

1) Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.

2) Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.

3) Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.

4) Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.

5) Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta.

c. Aspek Lingkungan

Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut

1) Kemauan politik yang kuat dari amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya pengembangan koperasi, kurang diikuti dengan tindakan-tindakan yang konsisten dan konsekuen dari seluruh lapisan struktur birokrasi pemerintah.

2) Kuran adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.

3) Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.

4) Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

5) Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan.

6) Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan reposisi peran koperasi yang secara mandiri dilakukan oleh koperasi dan pengusaha kecil. Keikutsertaan pemerintah dalam program ini dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator, melalui suatu mekanisme yang menempatkan koperasi dan usaha kecil sejajar dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dan perusahaan milik pemerintah. Strategi tersebut merupakan langkah yang perlu diLempuh berdasarkan pemikiran bahwa dengan program ini memungkinkan permasalahan yang dihadapi koperasi dapat ditangani sekangus. Dalam hal ini, selain koperasi memiliki kesempatan untuk eksis dalam usaha-usaha yang selama ini seakan "diharamkan" untuk koperasi, seperti dalam pengelolaan hutan dan ekspor/impor. Program ini juga sekaligus juga dapat membuktikan bahwa koperasi dan usaha kecil mampu berperan sebagai kelembagaan yang menopang pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sistem ekonomi kerakyatan.

5. Pola Reposisi Peran Koperasi

Keberhasilan koperasi dalam melaksanakan peranannya antara lain sangat ditentukan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak antara lain dengan cara: 1) Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan dari anggota; 2) Memperpendek jaringan pemasaran; 3) Memiliki alat perlengkapan organisasi yang berfungsi dengan baik seperti pengurus, Rapat Anggota, dan Badan Pemeriksa, serta manajer yang terampil dan berdedikasi; 4) Memiliki kemampuan sebagai suatu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.

b. Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara penumpukan modal anggota;

c. Penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia secara optimal untuk mempertinggi efisiensi.

d. Terciptanya keterampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh anggota secara sendiri-sendiri.

e. Pembebanan resiko dari anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya kembali ditanggung secara bersama oleh anggotanya.

f. Pengaruh dari koperasi terhadap anggota yang berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan, diantaranya perubahan teknologi, pasar dan dinamika masyarakat.

Selanjutnya hubungan dan pola kerjasama koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya haruslah serasi. Sifat hubungan tersebut haruslah saling menguntungkan dan tidak menimbulkan ketergantungan koperasi kepada bangun ekonomi yang lain, serta dilandasi oleh pola kerjasama antar koperasi sendiri secara horizontal dan vertikal. Pembangunan kerja sama dengan pelaku ekonomi lainnya diprioritaskan pada pengembangan hubungan dengan pengusaha menengah dan perusahaan besar milik negara.

6. Pelaksanaan Program Reposisi Peran Koperasi

Untuk mencapai tujuan dan sasaran atas dasar bidang prioritas, maka dalam upaya melakukan reposisi peran koperasi diperlukan perencanaan program yang terarah dan terencana, sehingga diharapkan koperasi akan menjadi lembaga ekonomi yang kuat, dan mampu tumbuh dan kembang dengan kekuatan sendiri. Untuk itu ditetapkan empat pendekatan dasar yaitu:

a. Proses, karena perkembangan koperasi merupakan rentang perubahahan ke arah kemajuan.

b. Metode, karena pembangunan koperasi menempuh cara-cara yang terencana dan terpadu diatas disiplin keteraturan dan kesinambungan sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi.

c. Program, karena perkembangan koperasi merupakan paduan dari berbagai kegiatan, berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan, dan kebutuhan masyarakat kecil baik di daerah perkotaan maupun pedesaan;

d. Gerakan, karena pertumbuhan dan perkembangan koperasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan yang bersumber dari cita-cita kemasyarakatan, yang ingin diwujudkan bersama sesuai dengan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Ke empat pendekatan tersebut merupakan satu kesatuan pendekatan yang harus diterapkan secara komprehensif sesuai dengan tahap-tahap reposisi peran koperasi.

Adapun kebijaksanaan tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu:

1. Tersedianya kesempatan usaha yang seluas-luasnya beserta tersedianya bantuan fasilitas permodalan dengan syarat yang memadai, untuk pengadaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran yang dibutuhkan.

2. Kebijaksanaan dalam rangka pemupukan modal melalui simpanan wajib, yang terpusat dan terpadu, di samping melakukan usaha untuk makin menggalakkan kesadaran menabung dari anggota sendiri. Pemupukan modal merupakan pendukung utama bagi terbentuknya lembaga keuangan yang dimiliki oleh koperasi

3. Kebijaksanaan pembinaan organisasi dan manajemen koperasi melalui pendidikan dan latihan, serta penyediaan bantuan tenaga manajemen yang terampil dan memiliki motivasi serta idealisms koperasi.

4. Terjalinnya pola kerjasama antara koperasi dalam satu kesatuan jalinan kelembagaan koperasi yang terpadu dan menyeluruh, serta terkait dalam tata ekonomi nasional bersama-sama dengan usaha swasta dan usaha negara.

5. Terselenggaranya penelitian, pengkajian dan pengembangan perkoperasian secara lebih mantap dan terarah.

6. Kebijaksanaan pemantapan kelembagaan pembina.

7. Agenda Reposisi

Beberapa agenda reposisi adalah sebagai berikut:

a. Reposisi Kelembagaan Koperasi, meliputi:

1) Bagaimana fleksibilitas kelembagaan koperasi dalam mengantisipasi dinamika perubahan akibat globalisasi

2) Bagaimana peningkatan partisipasi anggota koperasi

3) Bagaimana pembinaan dan pengembangan manajemen koperasi berdasarkan pengembangan sistem informasi

4) Bagaimana memanfaatkan perkembangan informasi teknologi untuk penerangan, penyuluhan, pendidikan dan latihan perkoperasian

5) Bagaimana pengawasan koperasi dalam era transparasi dan bertanggung gugat

6) Bagaimana peningkatan peranan DEKOPIN dalam pembinaan koperasi, advokasi

b. Reposisi Pengembangan Usaha Koperasi, meliputi:

1) Bagaimana peningkatan dan pengembangan efisiensi dan produktivitas usaha koperasi

2) Bagaimana peningkatan dan pengembangan kesempatan usaha bagi koperasi dalam era pasar bebas

3) Bagaimana peningkatan dan pengembangan struktur permodalan

4) Bagaimana peningkatan dan pengembangan sarana usaha koperasi

5) Bagaimana peningkatan dan pengembangan kerjasama usaha dalam rangka membangun sistem jaringan usaha yang strategis

c. Program Penelitian dan Pengembangan Koperasi, meliputi:

1) Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, yang meliputi seluruh aspek pengembangan perkoperasian melalui pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral yang terkoordinasi dan terintegrasi.

2) Pengkajian dan perumusan pengetahuan perkoperasian dalam rangka penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan pengajaran ilmu koperasi dalam pendidikan formal.

3) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan perkoperasian untuk memberikan masukan yang diperlukan bagi penyusunan pola pengembangan koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi usaha membangun koperasi.

4) Mengembangkan berbagai pola dan perangkat pembangunan koperasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi aspek-aspek manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta pemasaran.

5) Mengkaji proyek rintisan/percontohan dalam rangka memperoleh sistem dan peralatan teknis yang belum dijadikan pola atau sistem operasional.

6) Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah dan informasi perkoperasian yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang menyeluruh dan terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.

7) Meningkatkan kerjasama koperasi dengan lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, pengembangan dan pengkajian baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.

8) Meningkatkan partisipasi para pengelola koperasi di daerah-daerah sebagai unsur penunjang penelitian dan pengembangan koperasi dalam menciptakan keselarasan dan keserasian antara pendekatan atas bawah (top-down approach) dalam pembangunan koperasi.

Dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan pendayagunaan sarana tersebut perlu disusun kegiatan sebagai berikut:

1. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan sarana dan prasarana fisik di lingkungan lembaga pembina koperasi, sehingga dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan reposisi peran koperasi.

2. Menyempurnakan dan meningkatkan tatalakasana dan administrasi di lingkungan lembaga pembina koperasi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya dalam mendukung pembangunan perkoperasian pada khususnya, melalui penyempurnaan dan peningkatan proses perumusan/ penyusunan kebijaksanaan, rencana, program, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pelaksanaan gerakan serta kegiatan reposisi peran koperasi.

3. Memantapkan dan menyempurnakan sistem pengawasan di lingkungan lembaga pembina koperasi, baik pengawasan fungsional internal maupun pengawasan eksternal. Dalam hubungan ini perlu disempurnakan dan dimantapkan lebih lanjut sistem informasi manajemen

untuk mendukung pelaksanaan proses monitoring dan evaluasi berbagai program pembinaan perkoperasian secara transparan.

4. Meningkatkan kerjasama antara gerakan dan lembaga pembina koperasi dalam rangka mewujudkan keterpaduan konsistensi pelaksanaan kebijaksanaan dan program pengembangan koperasi dengan pengembangan sektor lainnya.

Sumber : http://www.smecda.com/Files/infosmecda/misc/awal_pertumbuhan.pdf

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/reposisi%20koperasi.htm

No comments:

Post a Comment